Saat memasuki bulan penuh berkah ada banyak hal alasan bagi setiap orang melakukan kegiatan sosial. Banyak orang menyambut bulan suci Ramadhan dengan kebahagian dari satu kegiatan melewati kegiatan lainnya. Saat Ramadhan tiba, seakan-akan hati senang dan ingin berbagi dengan orang lain, bahkan tidak jarang ada yang melakukan ibadah sosial dengan memberikan santunan kepada anak yatim.
Kebahagian bulan Ramadhan sesungguhnya mendorong seseorang melakukan aktifitas kesolehan sosial. Hal itu pula yang tidak jarang mendorong banyak pengurus partai politik melakukan ritual sosial yang biasa dijalani saat kampanye pemilu.
Bisa diartikan bulan Ramadhan sama pentingnya dengan pemilu itu sendiri, tapi secara objektif memang momentumnya tepat untuk berbagi. Sehingga motif politik bisa lebih kecil dibanding motif ibadah sosialnya.
Ada sesuatu yang menarik bagi seseorang berbuat baik di bulan Ramadhan, niat baik itu muncul seiring suasana dan aroma bulan penuh berkah. Perasangka buruk saya sudah barang tentu para politisi tidak segan memanfaatkannya.
Saat Ramadhan tiba, mayoritas masyarakat Indonesia menjalankan ibadah puasa. Ibadah puasa tidak saja diartikan secara harfiah menahan haus, lapar dan nafsu serta amarah melainkan menahan hasrat berbuat buruk. Bahkan saat menjalankan puasa niat berbuat buruk pun seakan-akan tidak muncul.
Karena tidak ada niat buruk maka seluruh aktifitas menjadi baik bahkan bernilai ibadah di mata gusti Allah subhanahu wataala.
Nilai pahalanya dua, pahala vertikal langsung dengan Allah dan pahala sosial yang horisontal. Jika pahala vertika bersifat tidak terlihat, rahasia, tidak terasa bahkan tidak terdengar, maka pahala sosial akan sangat berbeda, dia terasa, terdengar dan ternilai.
Tidak ada indikator survey yang dapat mengetahui seberapa besar pahal vertikal seseorang, bahkan lembaga survey paling kredibel sekalipun. Tidak juga ada sampel objek survey, atau tingkat eror hasil survey pada pahala vertikal, jadi sangat privat.
Sedangkan pahal sosial yang horisontal, meski namanya "pahala" tetapi akan mudah dirasakan hasilnya. Pahala sosial lebih mirip dari asuransi yang pada saat tertentu dapat diklaim oleh si pencari pahala sosial, saya melihat pencari pahala sosial ini diantaranya, pengusaha dan politisi. Semakin dia rajin membayar angsuran dengan nilai besar maka pada saatnya pengakuan klaim pun akan sepadan.
Saat bulan Ramadhan tiba, bagi seorang politisi adalah waktu yang tepat untuk menggapai pahala sosial itu dalam keadaan tidak menjalankan "puasa politik". Artinya saat Ramadhan politisi akan memilih tidak puasa ketimbang puasa dalam arti pahala sosial tadi.
Karena apa?, momentumnya tepat, saat puasa setiap orang berlomba memperbanyak pahala, sehingga motif memperbanyak kantong-kantong suara akan samar dibanding motif pahala vertikal. Masyarakat mungkin akan mengira bulan Ramadhan semua mau berbuat baik dengan ikhlas tapi toh niat itu ada di dalam hati bisa saja karena motif politik. Jadi tidak harus disalahkan bila ada motif tertentu bagi siapapun, toh setiap orang punya cara berbeda melihat sudut pandang. Motif politik dan motif pahala sama-sama mendapat penilaian tersendiri. Sehingga bisa dikatakan Ramadhan tidak saja menjadi bulan berkah bagi yang berpuasa tapi bulan suara kemenangan di hari rayaan Pilkada.
"Jika karena politik seseorang berbuat baik, maka berpolitik lah. Jika karena pahala seseorang berbuat baik maka berbuat pahala lah. Setiap orang memiliki motif tersendiri, tak terkecuali seorang anak kecil yang polos giat berpuasa".
Comments
Post a Comment