Penggunaan Hate Speech dan Politisasi Agama pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah adalah upaya yang akan mengkerdilkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia. Tidak saja mengkerdilkan demokrasi, Hate Speech dan Politisasi Agama juga memicu disintegrasi bangsa yang tidak disadari kelompok atau pasangan calon tertentu pada Pilkada. Tentu nilai yang sangat murah bagi keutuhan dan keberagaman bangsa Indonesia.
Karenannya penting sekali untuk saatnya masyarakat melakukan "Bersih-bersih Isu SARA dan HOAX saat Pilkada". Tentu ini menjadi cerminan bagi daerah manapun yang akan melaksanakan Pilkada agar tidak sama mengalami seperti yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
Tidak terkecuali bagi masyarakat Jawa Barat yang akan menggelar hajat demokrasi pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat 2018 mendatang. Masyarakat harus lebih jernih melihat upaya kelompok-kelompok tertentu mengambil alih panggung demokrasi dengan cara yang tidak sama sekali baik, bahkan jauh dari pesan demokrasi itu sendiri. Isu yang harus ditekan muncul di permukaan ialah penggunaan wajah Agama untuk menekan kelompok tertentu yang merugikan. Agama yang harusnya mempersatukan keberagaman kemudian digunakan untuk kebencian dan penghakiman masa atas dalih kebenaran. Kelompok-kelompok penjual agama yang menghujat seseorang ini mungkin saja akan muncul di Pilkada Jabar 2018, tapi kemudian cara-cara itu harus ditinggalkan. Cara itu mengajarkan permusuhan horisontal dan perbenturan sosial budaya. Ini sangat mengkhawatirkan dan bisa saja menyulut sumbu konflik yang terpolarisasi dalam kerangka kelompok Agama dan Nasionalis pada jangka panjang.
Penggunaan Agama dalam politik praktis memang sangat "Murah", tapi sesungguhnya bahaya yang akan terjadi setelahnya jauh dari kata "Murah" sama sekali.
Rais Syuriah PBNU Masdar Farid Mas’udi mengatakan,
"Jangan kampanye menggunakan agama di ruang politik, itu destruktif, merusak sekali, tidak pantas." (Tempo, 3 Mei 2017)
Ujian Bagi Warga Jawa Barat
Bila kemudian pada saatnya kelompok-kelompok tertentu masih menggunakan motif yang sama seperti di Pilkada DKI 2017 maka Pilkada Jabar 2018 adalah "Ujian Bagi Warga Jawa Barat".
Apa yang diuji dari warga?. Sejatinya warga, masyarakat, publik Jawa Barat lah yang akan mendapat ujian sesungguhnya untuk bisa menjaga toleransi, keberagaman budaya, dan nilai demokrasi. Ujian ini sangat berat namun sungguh warga dapat melewatinya bila seluruh kelompok mayoritas terus menggelorakan sikap toleransi, dan menajaga keutuhan nilai demokrasi. Kelompok mayoritas sebetulnya mereka yang tinggal di perkampungan-perkampungan dan sama sekali jauh dari sorotan lini masa media. Lebih pasif dan terkadang menjadi objek isu tertentu. Karenannya penting sekali untuk menyerukan sikap toleransi, keberagaman hingga ke pelosok desa di Jawa Barat. Jangan sampai kelompok mayoritas kemudian malah ditinggalkan kelompok minoritas yang mengambil panggung demokrasi dengan "Kebencian atas nama Agama".
Menguasai instrumen sosial pemersatu masyarakat seperti mesjid dan mushola sebagaimana mestinya. Jangan kemudian tempat-tempat itu menjadi panggung kampanye menjelekan pasangan calon tertentu dalam Pilkada Jabar 2018. Karena bisa saja nanti panggung-panggung politik akan bergeser ke tingkat yang paling bawah di masyarakat. Kuncinya dua yaitu pertama, penggunaan media masa, media sosial untuk mendorong sikap toleransi dan keberagaman budaya dan nilai demokrasi, kedua penguasaan instrumen sosial untuk menjadi pemersatu masyarakat.
Peneliti Senior Wahid Foundation, Ahmad Suaedy percaya bahwa kebersamaan dan toleransi warga Jawa Barat akan diuji dalam Pilkada Jawa Barat mendatang,
“Dalam Pilkada DKI 2017 kerusakan yang ditimbulkan oleh kampanye agama atau sektarianisme lebih dahsyat, sebab sampai merusak mekanisme sosial masyarakat.” (Tempo, 3 Mei 2017).
Oleh : Saefudin Sei
Comments
Post a Comment