Untuk lebih dapat memahami mengenai judul yang akan saya sampaikan, terlebih dahulu saya akan memaparkan pengertian dari tiap kata tersebut yang diambil dari beberapa sumber.
1. Etika Religius
a. Etika merupakan bahasa Yunani kuno, yang diambil dari kata “ethos” berarti “timbul dari kebiasaan” Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ethos yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini :
- Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
- Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
-Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.
Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang pelru kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.
b. Religius atau dalam bahasa Indonesi ialah Agama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Memang disatu pihak definisi mengenai agama juga etika yang masuk kedalamnya tidak bisa ditentukan secara ilmiah dan netral. Tentu saja orang bersikap menerima adanya keadaan atau hakikat milik bersama agama-agama itu, sehingga tidak benar apabila ada orang yang menyatakan bahwa agama itu sama, yang berarti melepaskan ultimate concern sebagai kebenaran mutlak dari kepercayaan sendiri. Dipihak lain, sekalipun agama dipandang oleh para penganutnya sebagai yang benar dan mutlak, hal itu tidak dapat memberikan pengertian yang jelas.
Bangsa yang berbeda menunjukan karakteristik atau pengalaman yang berbeda pula. Oleh karena itu seorang akan dipengaruhi oleh konsepsinya tentang apakah agama itu ada atau tidak; kecuali bila konsepsinya itu berubah-ubah, tidak hanya diantara para anggota individual dari masyarakat yang sama, tetapi juga sepanjang hidup dari suatu masyarakatnya.(James Hastings)
Prilaku masyarakat beragama (secara universal) tentu menuntut pemeluknya untuk dapat berbuat baik, benar, dan bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Baik itu agama samawi maupun agama ardli, dalam meyakini sesuatu yang dianggap benar oleh agama.
Elizabeth K Nottingham (1985 :3) seorang sosiolog, berpendapat bahwa, karena agama dan keanekaragamannya yang hampir tidak dapat dibanyangkan itu memerlukan deskripsi (penggambaran) dan bukan definisi (batasan), maka tidak ada definisi agama yang benar-benar memuaskan.
Etika religius menandakan adanya pengakuan perbedaan (pluralitas) dan identitas agama masing-masing (lakum diinukum wa liya diin). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Sehingga diharapkan adanya etika dalam beragama dalam bermasyarakat dapat memberikan perubahan yang membawa pada sikap toleransi beragama (as-samahah). Toleransi beragama adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi, karena itu, merupakan konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama, termasuk agama Islam.
Selanjutnya, di Surah Yunus Allah menandaskan lagi, yang artinya: “Katakan olehmu (ya Muhamad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawā atau common values) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!” Ayat ini mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan persamaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati. Ayat ini juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tauhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar-umat beragama yang didasari oleh kepentingan yang sama, yaitu ‘menjauhi konflik’.
Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif. Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Abu Ju’la dengan amat menarik mengemukakan, “Al-khalqu kulluhum ‘iyālullāhi fa ahabbuhum ilahi anfa’uhum li’iyālihi” (“Semu makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling dicintainya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama tanggungannya”).
Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, “irhamuu man fil ardhi yarhamukum man fil samā” (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka yang di lanit kepadamu). Persaudaran universal adalah bentuk dari toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya hak-hak orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menegasikan semua keburukan.
Dari sikap-sikap baik tersebut akan membawa pada perubahan keadaan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik.
2. Perubahan Sosial
Setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan. Perubahan bagi masyarakat yang bersangkutan maupun bagi orang luar yang menelaahnya, dapat berupa perubahan-perubahan yang kurang begitu pesat. Adapula perubahan-perubahan yang pasat dan berdampak secara luas.
Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai social, norma-norma social, pola-pola prilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekauasaan dan wewenang, interaksi social dan lain sebagainya.
Disini terdapat beberapa definisi atau batasan menganai perubahan social menurut beberapa para ahli sosiologi dan antropologi:
a. Definisi
Wiliam F. Ogburn berusaha memberikan suatu pengertian tertentu, walau tidak memberi definisi tentang perubahan-perubahan social. Dia mengemukakan ruang lingkup perubaha-perubahan social meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang materil maupun yang immaterial, yang ditekankan adalah pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial.
Kingsley Davis mengartikan perubahan social sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dab fungsi masyarakat. Misalnya, timbulnya pengorganisasian buruh dalam amsyarakat kapitalis telah menyebabkan perubahan-perubahan dengan hubungan antara buruh dengan majikan dan seterusnya menyebabkan perubahan-perubahan dalam organisasi ekonomi dan politik.
Maclver: Perubahan-perubahan social dikatakan sebagai perubahan-perubahan dalam hubungan social (social relationship) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan social.
Gillin and Gillin mengatakan perubahan social sebagai auatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideology maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Secara singkat Samuel Koening mengatakan bahwa perubahan social menunjuk pada modefikasi-modefikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia yang terjadi karena sebab-sebab intern maupun sebab-sebab ekstern.
b. Teori-Teori Perubahan Sosial
Para ahli Filsafat, sejarah, ekonomi, dan sosiologi telah mencoba untuk merumuskan prinsip-prinsip atau hukum perubahan-perubahan social. Banyak yang berpendapat bahwa kecendrungan terjadinya perubahan-perubahan social merupakan gejala wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia.
Ahli lain berpendapat bahwa perubahan social terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti misalnya perubahan dalam unsur-unsur geografis, biologis, ekonomis, atau budaya.
Pitirim A. Sorokin berpendapat bahwa segenap usaha untuk mengemukakan adanya suatu kecendrungan yang tertentu dan tetap dalam perubahan-perubahan social tidak akan berhasil baik. Dia meragukan kebenaran akan adanya lingkaran-lingkaran perubahan social tertentu.
Teori-teori mengenai perubahan-perubahan masyarakat sering mempersoalkan perbedaan antar perubahan-perubahan social dengan perubahan-perubahan kebudayan. Perbedaan demikian tergantung dari adany perbedaan pengertian tentang masyarakat dan kebudayaan.
Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan social merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagiannya, yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya, bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi social.
Ruang lingkup kebudayaan lebih luas. Sudah barang tentu ada unsure-unsur kebudayaan yang dapat dipisahkan dari masyarakat, tetapi perunahan kebudayaan tidak terlalu memberikan perubahan social yang besar.

Comments
Post a Comment