Contoh Contoh Penulisan Opini di Media Harian Nasional


Penjelasan Subsidi BBM dan Peran Demokrasi 

Tulisan ini merupakan salah satu tulisan yang pernah di muat pada kolom opini salah satu surat kabar lokal Kabar Gapura tanggal 26 Juni 2013, dengan judul "Subsidi dan Demokrasi Ala BBM". Opini tersebut sengaja saya buat atas respon saat pemerintah menaikan harga BBM yang dilakukan melalui voting di parlemen, yang menurut saya tindakan itu kurang efektif dan terkesan tak menderdaskan. Untuk lebih lengkap seperti apa tulisanya simak tulisan ini :

Robert S. Pindyck dan Danil L. Rubinfeld (2007:365), Subsidi adalah Pembayaran yang mengurangi harga pembeli di bawah harga penjualan yaitu pajak negatif.(Pindyck S Roberts, rubinfeld,L.Daniel, Mikro Ekonomi, Edisi Keenam,Indeks,Jakarta,2007)

Subsidi atau sering yang disebut subvensif adalah bentuk bantuan yang dibayarkan kepada suatu bisnis atau sektor ekonomi. Di Indonesia sendiri subsidi menjadi pembahasan dan anggaran rutin setiap tahun oleh pemerintah pusat. Upaya untuk mengentaskan angka kemiskinan di Indonesia, menjadi salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat melalui subsidi langsung. Biasanya subsidi diberikan oleh pemerintah kepada produsen atau distributor dalam suatu industri untuk menghindari kejatuhan industri. Itu yang dilakukan badan usaha karena merugi dan berniat melanjutkan produksinya. Atau bisa saja untuk meningkatkan harga suatu produk dan mempekerjakan lebih banyak tenaga buruh dari masyarakat. Sehingga dapat menekan angka pengangguran dengan banyaknya tenaga kerja yang terserap. Di Indonesia beberapa sektor yang selama ini terus disubsidi ialah sektor Energi yaitu BBM, LPG 3 Kilogram dan Listrik. Ketiganya merupakan sumber energi yang berasal dari alam Indonesia, yang dikelola oleh perusahaan nasional, namun saat ini perusahaan asing lebih mendominasi dalam pengelolaan BBM dan LPG. Akibatnya subsidi yang dilakukan pemerintah saat ini masih jauh panggang dari api, dimana perusahaan nasional belum mampu menjadi mitra untuk memenuhi kebutuhan nasional. Subsidi yang dilakukan pemerintah sebetulnya sangat potensial bila dapat diberikan secara tepat dan profosional. Contohnya ialah, dengan subsidi diharapkan perushaan-perushaan nasional mampu meningkatkan penjualan ekspor barang ke luar negeri. Begitupun subsidi di bahan pangan dilakukan untuk mempertahankan biaya hidup masyarakat yang berada diperkotaan, sementara untuk sektor pertanian subsidi diharapkan mampu meningkatkan produktifitas pertanian dan memperluas lahan untuk swasembada pangan. Pemberian pupuk subsidi senyatanya menjadi langkah maju oleh pemerintah membantu para petani untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumsi beras nasional. Kondisi tersebut sangat ideal untuk dijalankan, bila pemerintah benar-benar mampu merencanakan, melaksanakan dan mengawasi jalannya kebijakan dengan baik. Selain sektor energi, pemerintahan pusat pun mengeluarkan kebijakan subsidi pada sektor non energi. Yaitu subsidi pangan, subsidi pupuk, subsidi benih, subsidi publik service, subsidi bunga kredit program, dan subsidi pajak. Antara subsidi sektor energi dan non energi, pemerintah pusat masih diberatkan dengan sektor enerbi yaitu subsidi BBM untuk sekitar 15,5 juta penduduk miskin di Indonesia. 

By Name By Adress, subsidi dalam satu sisi juga dapat dilihat sebagai bantuan yang langsung diberikan kepada masyarakat secara individu. Sebanyak 15 juta lebih masyarakat miskin menjadi data penting kenapa pemerintah selalu beralasan subsidi untuk hajat hidup masyarakat. Anggaran untuk subsidi BBM misalnya, setiap tahun selalu lebih besar dibanding subsidi di sektor lainnya. Misalnya, pada tahun 2012 belanja subsidi mengalami kenaikan cukup signifikan. Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasiona Perubahan (RAPBN-P) tahun 2012 mengalami kenaikan Rp.273,155, 6 milyar jumlahnya mengalami kenaikan Rp.64,304,4 milyar atau naik sekitar 30,8 persen bila dibandingkan APBN 2012 sebesar Rp.208,850,2 milyar. Kenaikan anggaran belanja subsidi pada tahun 2012 kemarin bukan tanpa alasan, karena masih banyak sistem perencanaan anggaran yang belum tepat karena disesuaikan dengan harga barang secara global antar negara. Pemerintah pun akhirnya harus menyesuaikan subsidi BBM, LPG tabung 3 kilogram dan listrik akibat perubahan harga minyak mentah atau ICP yang diproyeksikan rata-rata mencapai USD 105/barel pada RAPBN-P tahun 2012. Atau harganya meningkat sebesar USD 15/barel dari asumsi awal APBN tahun 2012 sebesar USD 90/barel. Akibatnya pada tahun 2012 APBN pun jebol karena pemerintah harus menyesuaikan harga minyak mentah nasional dengan harga minyak mentah dunia. Meski Indonesia sendiri merupakan negara penghasil minyak mentah dunia, namun pemerintah pusat tidak mampu mengelola dengan baik dan dampaknya minyak mentah nasional banyak dikuasai perushaan asing dalam hal ini Chevron. Di sisi lain pengolahan crude atau minyak mentah menjadi bensin mempunyai biaya produksi yang mahal melalui proses destilasi bertingkat dan striping untuk menaikan oktan dengan biaya Rp.300 juta/drum dan pada reaktor striping butuh 700 m3 katalis. Jadi seandainya harga Rp.6000/liter sedangkan harga mentah minyak mencapai USD 100/barel atau 1 barel sama dengan 160 liter jadi satu liternya bisa menjadi Rp.5600/liter. Kondisi tersebut tentu sangat bertentangan dengan kebutuhan ideal masyarakat Indonesia, secara keseluruhan. Jumlah produksi minyak mentah nasional saja masih jauh lebih rendah dibanding konsumsi BBM nasional yaitu 237,5 juta barel/tahun. Dan menurut pakar ekonomi Kwik Kian Gie mengatakan bahwa kenyataanya kita sekarang adalah net-importer atau produksi lebih rendah dari konsumsi. Bisa dibayangkan betapa besar harga BBM dan dampaknya bila tidak ada subsidi dari pemerintah. Namun subsidi yang disalurkan oleh pemerintah pun sejauh ini belum dapat menyentuh masyarakat kecil yang sejatinya harus menerima subsidi tersebut. 


Anggaran belanja subsidi yang membengkak pun menjadi alasan penting kenapa wakil rakyat kita ngotot tarik sana-tarik sini untuk mengesahkan RAPBN-P 2013 yang didalamnya dibahas soal subsidi BBM yang dipangkas sedikit lebih banyak. Ada dua kubu wakil rakyat yang mengatakan bahwa subsidi BBM tidak perlu dikurangi dan sebagian subsidi BBM perlu dikurangi. Alasan-alasan pun semuanya dilontarkan antar dua kubu untuk menegaskan dan dapat diterima secara nalar rasional anggota lain. Misalnya saja, partai politik Sekretariat Gabungan Koalisi Indonesia Bersatu Jilid 2 dibawah pimpinan Ketua DPR RI Marzuki Ali dari Partai Demokrat (PD) dan beberapa partai pengusung yaitu Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Mereka beralasan bahwa subsidi BBM kurang tepat sasaran sementara APBN selalui dibebani oleh subsidi BBM setiap tahunnya. Mereka pun berdalih maka perlu ada pengurangan subsidi BBM untuk meringankan beban negara meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui bantuan. Tidak serta merta memangkas belanja subsidi, parpol KIB Jilid 2 pun memberikan alternatif untuk mengurangi angka kemiskinan melalui bantuan-bantuan lain yang dirasakan sangat tepat. Beberapa diantaranya ialah melalui Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) atau lebih mudah disebut Balsem. Kata Balsem bukan tanpa alasan, karena Balsem dipercaya dapat meringankan sakit meski hanya sementara. Begitupun dengan yang terjadi di masyarakat, diharapkan dengan Balsem ini menjadi obat mujarab di tengah gelombang pasar bebas yang menghantap masyarakat kecil. Sempat ramai ketika Balsem diduga berasal dari hutang negara bukan dari APBN untuk kemudian disalurkan kepada masyarakat miskin. Kondisinya tentu sangat bertolak belakang, dimana pemerintah mengatakan pemotongan subsidi BBM akan mengurangi beban negara namun disisi lain justru menggunakan hutang untuk membantu masyarakat miskin. Sekali lagi, Sang petinggi negara sekaligus pemimpin negara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui stafnya menegaskan bahwa Balsem bukan dari hutang luar negeri. Selain Balsem ada juga, Beras Miskin (Raskin) yang sudah dilakukan beberapa kurun waktu kebelakang dan belum mampu mengentaskan kemiskinan. Raskin pun menjadi pesakitan karena penyalurannya masih kurang tepat sasaran bahkan tidak jarang dicuri oleh aparat yang mengatasnamakan rakyat. Kondisi tersebut akhirnya banyak menuai reaksi keras betapa pemerintah belum mampu bersentuhan langsung dengan rakyat kecil dalam memberi bantuan. Masih banyak yang disalahgunakan, sementara masyarakat masih ringkih menghadapi kerasnya perekonomian yang tidak kunjung memihak kepada rakyat kecil. 
Sementara partai oposisi yang mengatakan menolak ialah, Partai Demokarasi Indonesia Perjuangan (PDI P), Partai Gerindra, Partai Hanura dan belum lama ini Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pun ikut-ikutan menolak subsidi BBM dipotong. Sikap PKS yang banyak diragunak orang akan tetap bersandingan di KIB Jilid 2 pun dipertanyakan. Setelah prahara yang menimpa presiden partai berbasis dakwah tersebut dalam kasu suap impor daging Sapi, mereka (PKS) berniat menarik kembali perhatian masyarakat melalui sikap penolakan pada rencana kenaikan BBM. Sudah jatuh tertimpa tangga, kurang lebih begitu akibat sikap partai yang tidak konsisten dalam koalisi. Sudah tersandung kasus korupsi, kini PKS pun dicibir karena dinilai plin-plan memilih keputusan oleh partai-partai koalisi. 

Deadlock, hasil pembahasan rencana pemotongan subsidi BBM pada RAPBN-P 2013 oleh Setgab di DPR RI tidak kunjung menemui titik temu. Seakan sudah tidak ada kata yang tepat lagi, mereka pun tetap bersikukuh memegang alasannya untuk meyakinkan satu sama lain. Demokarasi seakan menjadi bahasa musyawarah yang mengalami kebuntuan, dan wakil rakyat kita seakan tidak memiliki solusi cerdas dari dua alasan yang semakin kokoh dibenarkan. Keduanya mengkalim alasannya benar, akhirnya demokrasi ditafsirkan sangat sempit. Demokrasi menghasilkan musyawarah-mufakat, musyawarah menghasilkan kesepahaman dan mufakat menghasilkan kesepakatan melalui voting atau jajak pendapat. Sudah menjadi hal lumrah, DPR RI tidak lagi menjadi wadah pencerdasan masyarakat namun menjadi wadah suara yang tidak beda dengan pemilihan ketu Rukun Tetangga (RT) di kampung. Maka, ketika ketika DPR RI saat ini menyatakan menggunakan hak voting akan sangat tidak ideal, padahal mereka semua adalah orang-orang cerdas yang dipilih rakyat. Sebanyak, 338 suara anggota fraksi partai yang menyatakan mendukung Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2013 yang didalamnya berisi tentang pemotongan subsidi BBM sementara 181 anggota fraksi mengatakan menolak kenaikan BBM. Kondisi itu menjadi berita duka bagi tumbuhnya kesejahteraan masyarakat kecil. Anggota DPR RI kini sudah tidak cerdas lagi, karena faktanya mereka tidak menggunakan nalar fikir yang solutif konstruktif dan lebih memilih suara mereka disama ratakan. Artinya, tidak ada klasifikasi apakah dia seorang profesor, atau ulama dimata politik suara mereka tetap satu. Inilah yang kemudian disebut sebagai demokrasi ala BBM, dimana subsidi memukul rata semua masyarakat. Padahal ada masyarakat dengan kemampuan ekonomi kecil dan kemampuan ekonomi menengah namun kali ini malah hampir disamakan. Akibatnya rakyat pun menangis, karena ketidak mampuan pemerintah dan wakil rakyat untuk menjadi wakil mereka. Saat sudah tidak lagi mengedepankan hak kesejahteraan masyarakat namun berlandas pada subyektifitas kebijakan partai bagi para anggota fraksinya di DPR. 




Politisasi Desa

"Desa adalah perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, sosial, ekonomis politik, kultural setempat dalam hubungan dan pengaruh timbal balik dengan daerah lain".
(R Bintarto).

Desa, secara harfiah tak begitu memikat sebagian kelompok untuk mendiskusikannya lebih dalam atau bahkan memperincinya. Kondisinya hampir sama sejak puluhan tahun kebelakang sampai saat ini jika mengartikan desa dari bahasa dan strukturnya. Kalaupun ada perubahan, lebih sering terjadi karena paradigma yang dinamis mengikuti jaman untuk menggambarkannya.

Keluarnya kebijakan otonomi daerah melalui UU nomor 32 tahun 2004 dalam perjalanannya otonomi menjadi harapan baru daerah agar mengolah instrumen pemerintahan untuk mengatur dan memajukan daerahnya sesuai dengan sosial kultur masyarakat setempat demi kemajuan. Namun seiring waktu kekuasaan yang diberikan kepada daerah malah banyak menyimpang dan lebihnya menjadi jalan untuk memperkaya diri dan kelompoknya serta pemodal, lantaran belum lama ini sedikitnya ada Delapan kepala daerah yang tengah ditelusuri karena memiliki rekening gendut (Kompas.com 16/12/2014).  Lebih jauhnya Pemda (Pemerintahan Daerah) malah menjadi kaki tangan pemodal sehingga kekuasan bukan lagi bersifat transformatif (memberdayakan rakyat) tetapi lebih bersifat eksploitatif dengan berbagai kekuatan dan tekanan politik. Perilaku tersebut kemudian disebut Daron Acemoglu dan James A Robinson (2012) sebagai menciptakan institusi ekstraktif yang cenderung memonopoli kekuasaan. Pembangunan daerah kemudian menjadi medan tempur elit-elit lokal untuk membagi kekuasaan anggaran sementara rakyat diletakan dalam posisi yang tersandera kekuasaan. Tak ada pilihan lain rakyat menjadi penonton dari lakon dalang-dalang kekuasaan, pembangunan yang dilakukan pun tak jarang menggerus budaya lokal masyarakat. Padahal senyatanya otonomi daerah diletakan untuk mengikis sentralisasi kekuasaan dan memberi ruang untuk partisipasi rakyat sebagaimana semangat reformasi. Namun kini sentralisasi kekuasaan dirasa bergeser ke tingkat daerah akibat instrumen pemerintahan daerah yang diposisikan sebagai power of corporation (kekuasaan pengusaha) yang dengan mudahnya kebijakan memihak. Alasan itu yang akhirnya pemerintahan pusat mulai merevisi aturan otonom daerah dan menggantinya dengan UU nomor 23 tahun 2014. Dalam UU (Undang-Undang) nomor 23 ada upaya tegas pemrintahan pusat kepada daerah yang dianggap lalai karena kebijakan yang keliru.
UU Desa
Seiring pekembangannya dari tahun ketahun ada penambahan jumlah desa di Indonesia yang cukup signifikan. Berdasarkan sumber (Kompas.com 31/10/2014) jumlah desa meningkat dari 69.000 pada tahun 2003 naik menjadi 70.000 tahun 2005, dan 75.000 tahun 2008, kemudian 80.000 tahun 2011, hingga diperkirakan 86.000 tahun berikutnya. Peningkatan tersebut didorong karena pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk, mulai dari desa tertinggal sampai desa maju. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) perdesaan misalnya, dianggap mendorong pertumbuhan desa tapi senyatanya tak banyak merubah wajah desa lantaran, selain bersumber dari bantuan bank dunia program itu pun ternyata lebih besar untuk jasa konsultan dalam pengelolaannya di banding pembangunan desa itu sendiri. Pasalnya, dari dokumen utang Indonesia untuk PNPM periode 2012-2015 tercatat 69 persen utang atau 450 juta dollar AS ditujukan bagi konsultan pendamping dan tenaga ahli, sementara untuk pembangunannya lebih kecil. Terbitnya UU Desa nomor 6 tahun 2014 menjadi angin segar pembangunan desa di Indonesia, setelah melalui perjalanan yang panjang UU tersebut akhirnya diputuskan. Dalam UU itu pemerintah pusat memberi kewenangan lebih bagi desa dalam mengelola pemerintahan, keuangan dan pembangunan harapannya dapat disesuaikan dengan kondisi ekonomi, sosial politik dan budaya masyarakat desa. Sementara jika melihat secara cermat sebetulnya dalam UU Desa berbenturan dengan peraturan sebelumnya, karena dalam PP Nomor 165/2014 ada pembatasan kerja untuk Kementerian Desa. Dalam PP 165 Kementerian Desa hanya menangani kelembagaan dan pelatihan, pemberdayaan masyarakat serta ekonomi desa dan pengelolaan sumber daya alam dan teknologi. Dalam PP tersebut pembinaan pemerintahan desa tidak masuk dalam tugas yang dikoordinasikan dengan Kementerian Desa. Di saat yang saam dalam UU Desa sendiri ada klausul yang bertolak belakang satu sama lain seperti dalam Pasal 112 ayat 1 dalam UU disebutkan pemerintah membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan desa, namun dalam penjelasannya pemerintahan yang dimaksud adalah Mendagri padahal dalam Pasal 2 di UU Desa disebutkan yang berwenang mengurusi desa termasuk pembinaannya adalah Kementerian Desa.

Tarik Ulur Kepentingan


Tarik ulur antara dua lembaga kementerian yaitu Kemendagri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Kedua lembaga tersebut beralasan memiliki peran untuk membina desa, Kemendagri yang menjadi rumah bagi pemerintahan di Indonesia mengklaim memiliki saham paling banyak, sementerana Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengaku memiliki wadahnya. Jika melihat UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, desa dibawah kendali Kementerian Desa berdasarkan Pasal 2 dalam UU tersebut Kementerian Desa berkewenangan mengurus pemerintahan, pembangunan, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa (Tribun Jabar, Selasa 13 Januari 2014). Presiden sudah membagi kewenangan dalam rapat kabinet terbatas (Selasa, 13/1/2015), yang memastikan Kemendagri mengurusi pemerintahan dan Kemendes mengurusi perencanaan program pembangunan desa, pengawasan program pembangunan desa, pengawasan program pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Jika dihitung-hitung dari proses tersebut sebetulnya ada dua kepentingan  yang sedang berebut simpati Presiden, lantaran baik Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar adalah dua kader partai yang berbeda. Marwan yang merupakan kader PKB setidaknya mengemban tugas politik untuk menjalankan pemerintahan, begitupun sebaliknya Tjahjo Kumolo yang merupakan kader PDIP. Sehingga wajar saja jika kedua kader beda parpol tersebut ingin sama-sama mengamankan peran mengelola desa. Pasalnya, tidak menutup kemungkinan tahun 2019 mendatang menjadi pertarungan politik untuk memperebutkan simpayo masyarakat desa, setidaknya persiapan meraih suara masyarakat desa dimulai dari klaim pengelolaan desa sejak jauh-jauh hari. Hal itu pula yang menjadi alasan dua kementerian berebut mengelola desa.




Membengkaknya Belanja Pegawai dan Beban APBD

Setiap tahun anggaran belanja Negara baik melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) I dan APBD II selalu didominasi belanja pegawai. Kebutuhan akan itu di sebagian pihak sudah menjadi keharusan negara, namun di pihak lain justru menjadi ancaman. Angka peningkatan jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari tahun ke tahun secara nasional menunjukan peningkatan. Jumlahnya akan lebih besar dari tahun sebelumnya. Peningkatan jumlah pegawai tersebut diantaranya tanpa melalui pertimbangan rasional. Karena semestinya peningkatan kuantitas pegawai harus berbanding lurus dengan pelayanan kepada masyarakat. Namun faktanya tidak, bertambahnya pegawai justru lebih pada pembengkakan anggaran negara untuk membayar gaji pegawai.

Peningkatan jumlah pegawai ada yang dikehendaki atau sesau proporsi kebutuhan rencana (by design) ada juga yang tidak terencana (undersign). Kecenderungan yang terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun kebelakang, peningkatan jumlah pegawai lebih mendominasi. Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2012 oleh Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) yang disampaikan kepada anggota DPR RI, jumlah pegawai bertambah rata-rata 12,38 persen setiap tahunnya. Terhitung sejak tahun 2007 – 2011 terjadi peningkatan, di tahun 2007 jumlah pegawai secara nasional sebanyak 4.067.201 orang. Di tahun 2011 jumlahnya bertambah menjadi 4.570.818 artinya naik sebanyak 503.617 orang selama kurun waktu tersebut. Sehingga bisa dikatakan, jumlahnya meningkat tajam untuk ukuran angka. Harapannya peningkatan jumlah pegawai tersebut sebanding dengan pelayanan kepada masyarakat. Karena pada dasarnya, pelayanan akan lebih baik dengan adanya penambahan orang yang akan melayani. Namun justru sebaliknya, peningkatan jumlah pegawai lebih didasari pada kinerja kelas structural di kalangan birokrasi. Polanya cenderung mengkerucut k etas, artinya struktur birokrasi akan lebih ramping k etas dengan beban kerja yang lebih ringan. Sementara di bagian bawah jumlah pegawai semakin banyak diserap untuk menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat secara keseluruhan. Di tataran itu cenderung ada tumpang tindih kinerja pegawai. Secara rasional karena banyak orang yang mau bekerja menjadi pegawai pemerintah, akibatnya mereka harus kerja lebih keras. Sementara di pegawai yang sudah lama pun masih banyak dan berharap diangkat naik jabatan. Hal itu kemudian semakin menambah jumlah pegawai dengan beban kerja yang relative ringan. Dan kondisi tersebut menjadi keuntungan pegawai yang lebih mapan baik dari stuktural maupan kedekatan dengan birokrasi kelas atas.

Kondisi tersebut sebetulnya menjadi salah satu sebab meningkatnya jumlah pegawai dengan alasan pelayanan public. System structural tersebut sampai saat ini masih digunakan oleh birokrasi kita secara tidak sadar. Dan terus menerus digunakan dari masa ke masa sebagai dampak dari system yang berkaitan. Misalnya, hasil pemeriksaan kinerja atas penetapan formasi dan pengadaan pegawai tahun 2009 dan 2010 menunjukan adanya kelemahan. Di antaranya mengenai pengajuan usulan tambahan formasi PNS oleh instansi pusat dan daerah belum sepenuhnya dasarkan pada analisis kebutuhan dan analisis beban kerja. Belum lengkapnya data dan informasi kepegawaian yang akurat turut melemahkan birokrasi kita. Pertimbangan antara instansi terkait cenderung parsial atau setengah-setengah. Bila kondisi tersebut terus terjadi, maka birokrasi dengan kondisi itu akan lebih tidak efektiv.

Selain itu, masih lemahnya system rekrutmen calon pegawai pun menjadi sorotan penting tingginya angka ketidak efektivan birokrasi kita. Rekrutmen yang dilakukan idealnya memenuhi syarat dan prosedur system kepegawaian. Yaitu memenuhi kompetensi standar kelulusan pegawai secara keilmuan dan memenuhi syarat untuk kebutuhan system secara formil. Calon pegawai yang lebih berkompetensi dan sarat pengalaman kinerja lebih dibutuhkan. Yaitu dengan kecakapan dan pengalaman kerja yang cukup dan seimbang. Pengalaman kerja yang dimaksud ialah capaian prestasi kinerja pegawai atas tugas yang telah dijalankan. Karena factor pengalaman, bukan saja berdasarkan pada kuantitas lamanya masa kerja menjadi pegawai.

Dampak dari lemahnya birokrasi kita ialah membengkaknya anggaran belanja pegawai setiap tahunnya. Anggaran belanja pegawai sendiri sudah menjadi anggaran yang setiap tahunnya lebih besar. Di beberpa daerah anggaran belanja pegawai pada Rangangan Anggaran Pedapatan dan Belanja Daerah (APBD) bahkn bisa lebih dari 70 persen. Kondisi tersebut tentu sangat mengkhawatirkan bagi keberlangsungan program yang nantinya akan dijalankan oleh pemerintah itu sendiri. Karena jika setiap tahun anggaran mereka habis untuk membiayai pegawai, diperkirakan program-program pemerintahan lain akan tersendat. Maka diperlukan perampungan anggaran untuk belanja pegawai dengan lebih dulu memperhitungkan aspek kebutuhan pegawai di sejumlah layanan public. Itu yang saat ini kurang dilihat sebagai efektiftas dan efesiensi anggaran untuk belanja pegawai. Penambahan jumlah pegawai di suatu daerah idealnya terlebih dahulu mempertimbangkan factor kebutuhan pegawai di lapangan. Artinya, beberapa sector layanan dengan intensitas kerja lebih banyak mesti didahulukan penambahan pegawainya. Di saat bersamaan dampak dari meningkatnya jumlah pegawai di Indonesia turut berdampak pada membengkaknya biaya pensiun bagi mantan PNS. Hal itu tentu menjadi perhatian penting dari tingginya angka jumlah pegawai yang sama dengan jumlah pensiun. Pensiunan sebetulnya tidak akan memberatkan belanja pegawai jika jumlahnya tidak terlalu besar. Artinya anggaran belanja pegawai sangat dipengaruhi jumlah pegawai pada tahun itu.


Solusi dari hal itu ialah dengan melakukan efisiensi birokrasi. Efisiensi merupakan hal yang secara normative memang harus dilakukan oleh organisasi mana pun tidak terkecuali pemerintahan 

Comments